Review Buku: Mengungkap Politik Kartel

Kali ini saya sebagai salah satu kontributor Cerdaskan.ID akan membahas mengenai pendapat saya tentang Politik Kartel. Bagi kamu yang tertarik dibidang politik boleh meneruskan membaca hingga bawah ya.

Pendahuluan

Kartelisasi politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam demokratisasi di Indonesia, isu tersebut senantiasa menarik untuk dibahas dari periode ke periodenya. Dinamika pemerintahan di Indonesia memiliki ciri khasnya tersendiri dari masa ke masa, baik itu masa Orde Lama, Orde Baru, terlebih Era Reformasi saat ini. Ambardi telah menghasilkan karya yang sangat menarik sebagai referensi bagi para pemerhati dinamika politik di Indonesia, terlebih mengenai analisisnya terhadap munculnya kartelisasi politik yang disertai dengan adanya praktik perburuan rente. 

Era Reformasi menunjukan bahwa adanya demokratisasi bukan hanya meninggikan iklim kontestasi politik, melainkan adanya upaya penguasa dalam menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan pribadi maupun golongan-golongan tertentu. Sehingga orientasi yang dibangun adalah kepentingan sepihak, bukan kepentingan ideologis yang ditunjukan untuk kepentingan umum dan kebaikan bersama, melainkan upaya agar mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Asumsinya adalah dengan mendapatkan kekuasaan, maka segala akses yang dibutuhkan pribadi maupun golongan tertentu akan dapat lebih mudah didapatkan.

Reformasi

Reformasi yang seharusnya menghadirkan dinamika politik yang lebih kompetitif, diiringi dengan adanya problem cost politik yang lebih besar, sehingga lazimnya kita temukan iklim kompetisi tersebut hanya ada pada ranah pemilihan umum saja. Setelah itu, lazminya terdapat berbagai lobby politik, sehingga hal tersebut dapat mencairkan iklim kompetisi dan melemahkan pertentangan ideologis. Hal ini mendorong adanya pembentukan koalisi pemerintah yang lebih kuat, serta menyebabkan poros oposisi yang semakin melemah.

Pada ajang kontestasi politik dalam pemilihan umum, persaingan antar partai dapat lebih terlihat, akan tetapi setelahnya, cenderung akan terbentuk koalisi baru yang lebih bersifat pragmatis, tidak berlandaskan atau berorientasi pada kepentingan ideologis. Dengan demikian, menjadi pertanyaan besar bagi kita, apa sebenarnya tujuan dari partai politik di Indonesia, apakah hanya berorientasi pada kekuasaan atau materi agar kepentingan-kepentingan individu dan kelompoknya dapat terpenuhi?

Pendapat Ambardi (2009: 91)

Ambardi dalam buku ini mencoba untuk menelisik lebih dalam mengenai keterkaitan kartelisasi politik yang terjadi di Indonesia dan hubungannya dengan perburuan rente, baik itu pada ranah eksekutif maupun legislatif. Pada bab awal ia mencoba untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan poros politik atau aliran politik. Kemudian ia menjelaskan tentang bagaimana memahami kepentingan politik dan dinamika sistem kepartaian di Indonesia. Setelah itu, ia mendeskripsikan proses pembentukan politik kartel di Indonesia, penjelasan ini dimulai dari pasca Pemilu 1999 yang ditelaah berdasarkan aspek elektoral. Selanjutnya pada Pemilu 2004 ia menjelaskan bahwa oposisi pemerintahan kian memudar, serta adanya praktik politik kartel di dalamnya. Hal ini disertai dengan adanya partai pemburu tente, demi memenuhi kepentingan kolektifnya.

Baca juga : Rekomendasi Tempat Kursus TPA

Sebelum menjelaskan lebih dalam terhadap substansi utama pembahasan buku ini, Ambardi mengajak kita untuk terlebih dahulu memahami aliran politik yang ada di Indonesia. Ambardi (2009: 91) menjelaskan bahwa pada umumnya di Indonesia terdapat dua aliran, yakni Islam dan Sekuler, kemudian adanya aliran politik pusat dan daerah, serta aliran-aliran yang terfokus pada isu kelas-kelas yang umumnya terjadi pada masa gencarnya industrialisasi Indonesia era Orde Baru.

Kemudian, ia menambahkan penjelasannya bahwa pada masa 1950-an terjadi konstelasi politik yang kompetitif, hal ini dikarenakan aliran politik yang bersaing adalah Islam dan sekuler, sementara isu kelas saat itu belum mendapatkan pengaruh besar dalam tatanan masyarakat luas. Memasuki masa Orde Baru, industrialisasi muncul secara besar-besaran, hal ini menimbulkan wacana persaingan antar kelas. Namun pada masa ini disertai dengan adanya rezim pemerintahan yang otoriter. Sehingga terdapat mobilisasi politik institusi-institusi tertentu dalam mempertahankan rezim kekuasaan saat itu. Setelah itu, reformasi muncul dan partai politik dapat lebih mengekspresikan strategi-strateginya dalam menarik minat pemilih.

Apabila memahami apa yang dijelaskan oleh Ambardi dalam mengklasifikasikan aliran politik di Indonesia. Maka penulis berpendapat bahwa pengelompokan tersebut berasal dari pemikiran politik yang ada. Sebagaimana apa yang dibahas oleh Munawar Ahmad (2007) dalam buku “merunut akar pemikiran politik kritis di Indonesia, dan penerapan Critical Discourse Analysis sebagai alternatif metodologi” bahwa Departemen Penerangan periode 1950-1955 Republik Indonesia, membagi aliran pemikiran politik yang dimiliki oleh partai-partai di Indonesia pada kategori kelompok Agama meliputi partai Islam yang besar, dan partai Protestan, Katolik, yang kecil tetapi aktif. Kemudian, partai-partai Marxisme mencakup partai Komunis Indonesia, yang ortodoks, dan Partai Sosialis Indonesia yang Sosialisme Demokrasi, serta partai Murba. Kelompok Nasionalisme diwakili oleh partai Nasionalisme Indonesia, sebagian aliran Nasionalisme radikal, Partai Indonesia Raya, partai nasionalisme yang lebih bersifat ningrat, dan sederetan partai yang mengacu pada dua partai tersebut. Selanjutnya di bawah pemerintahan demokrasi terpimpin, muncul ideologi baru, yakni NASAKOM, merupakan ideologi hibridasi dari tiga ideologi model pemerintah, yakni Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Hal ini justru memunculkan ideologi ke empat, yakni kelompok-kelompok yang bersebrangan dengan ide Soekarno, seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.

Pendapat Ahmad (2007)

Setelah itu, Ahmad menjelaskan bahwa pemikiran politik era 1960-1980an lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik semasa orde baru dan akhir dari orde lama. Kebijakan Soekarno untuk memaksakan ideologi NASAKOM yang revolusioner, menyebabkan terjadinya konflik politik dengan pemikir-pemikir yang kritis, termasuk dengan teman-teman seperjuangannya, seperti Hatta, Natsir, Sjahrir, dan lainnya. Sehingga perang terbuka yang bersifat ideologis tidak terelakan lagi, khususnya antara kelompok Islam vs nasionalisme radikal.  Kemampuan orde baru dalam mengintroduksir Pancasila sebagai ideologi tunggal dalam perpolitikan, menyebabkan pemikiran politik mengalami kondisi surut. Kebijakan pemerintah Soeharto pada era 1960-1980an, diarahkan kepada developmentalisme, yakni orientasi pada pembangunan fisik dan mental. Sehingga perhatian terfokus bagaimana membangun dan memberdayakan segenap potensi yang di miliki Indonesia. Selain itu, era ini juga merupakan era diterapkannya kebijakan fusi atau penyederhanaan partai-partai politik melalui UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.

Kemudian, peta pemikiran era 1980-2000 sebenarnya merupakan episodik lanjutan dari peta pemikiran di era sebelumnya. Namun menjelang tahun 1990an, muncul suatu sikap pemberontakan terhadap regime orde baru, yang telah menunjukan gejala represif terhadap kebebasan berfikir. Setelah presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan Presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jususf Habibie. Pada masa ini penyelenggaraan pemilu dipercepat. Setelah UU tentang Pemilu disahkan, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum yang anggotanya wakil dari partai politik dan pemerintah. Peserta pemilu pada masa ini sebanyak 48 partai. Kelahiran berbagai partai politik tersebut mencerminkan suatu apresiasi politik yang semakin meningkat, walaupun umumnya dicurigai sebagai bentuk euphoria politik semata. Peta partai politik pada masa itu mengisyaratkan pertarungan antara kelompok sekuler dan Islam (Ahmad, 2007). Semenjak era reformasi digulirkan, maraknya aliran ekspresi dari pemikir-pemikir politik Indonesia mencerminkan bahwa era reformasi telah membuka peluang hidup dan kebebasan dari berbagai corak pemikiran. Namun pada umumnya penulis menyepakati bahwa pada umumnya perhelatan politik di Indonesia diwarnai dengan kontestasi aliran politik Islam dan sekuler.

Selanjutnya, pada konteks aturan main, yang dimaksud oleh Ambardi dalam bukunya adalah aturan main dalam pemilihan umum. Pada hal ini ia menekankan bahwa sistem Pemilu harus dapat menjamin arena kontestasi yang demokratis, serta menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan sebagaimana konsepsi dalam demokrasi substantif yang menjunjung tinggi hal tersebut. Nilai-nilai dalam demokrasi substansial harus tercantum dalam prosedur pemilihan umum. Selaiknya Pemilu pada umumnya yang diselenggarakan secara demokratis, jujur, dan adil. Maka dalam hal ini Undang-Undang harus menjamin arena kompetisi antar partai politik yang adil, tidak ada yang diistimewakan (Ambardi, 2009: 123). Selain itu, pihak militer dan pegawai negeri sipil, serta lembaga independen lainnya harus dijamin netralitasnya.

Pemilu

Adanya pemilihan umum merupakan sarana bagi partai politik dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Pemilihan umum menjadi ajang kontestasi politik bagi partai politik maupun kandidat. Pada dasarnya pemilihan umum merupakan kegiatan memilih seorang kandidat atau partai politik untuk menduduki jabatan pemerintahan, baik itu di tingkat ekskutif maupun legislatif. M. Rusli Karim (dalam Tutik, 2006) berpendapat bahwa Pemilu merupakan representasi dari kedaulatan rakyat, yakni sebagai sarana dalam menegakkan tatanan demokrasi, karena dengan hal itu demokrasi dapat terselenggara lebih sehat dan sempurna. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa Pemilu merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang demokratis. Partisipasi masyarakat yang terkandung di dalamnya merupakan representasi kedaulatan negara yang ada di tangan rakyat, kemudian didelegasikan pada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, apa yang dimaksud Ambardi dalam konteks aturan main Pemilu, menjadi esensi penting dalam proses transformasi politik di Indonesia. Pemilu masa Orde Baru yang sebelumnya dipolitisir, sehingga dengan mudah dimenangkan salah satu pihak, kini tentu harus dijamin independensinya, sehingga dapat menghadirkan aturan main kontestasi politik yang adil.

Undang-Undang

Selain itu, Undang-Undang harus melihat distribusi kesejahteraan ke berbagai aspek, khususnya aspek pembangunan di daerah-daerah, agar tidak bersifat sentralistik. Maka dari itu, diperlukan aturan main, melalui regulasi yang mengatur adanya distribusi kepentingan antara pusat dan daerah (Ambardi, 2009: 123). Sehingga dinamika politik lokal menjadi lebih dinamis, serta potensi daerah dapat lebih tergali. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang otonomi daerah yang lebih memberikan keleluasaan terhadap daerah agar dapat berkembang lebih pesat secara mandiri. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka pemilihan umum tidak hanya dilakukan pada level nasional, baik itu dalam pemilihan eksekutif maupun legislatif. Arena kontestasi yang menghadirkan kesempatan yang adil bagi berbagai pihak, perlu diperluas hingga pada level daerah. Dengan demikian, konsep otonomi daerah mendorong adanya kemandirian daerah dalam menentukan pemimpin politiknya masing-masing. Selain itu, keterwakilan politik di daerah dapat lebih di rasakan oleh masyarakat, dibandingkan dengan penunjukan secara sepihak oleh pemerintah pusat. Hal ini tentu dapat menuai perdebatan yang panjang, baik dari segi positif maupun negatifnya.

Kembali pada pembahasan utama, setelah pemilu 1999, Ambardi berkeyakinan bahwa sistem kepartaian di Indonesia menjadi terkartelisasi, serta kontestasi partai politik berhenti setelah Pemilu digulirkan. Arena persaingan partai politik menjadi sebatas pada momentum pemilihan umum semata (Ambardi, 2009: 234). Pada masa ini persaingan dalam merebut basis elektoral cenderung mengandalkan isu-isu keagamaan, sehingga partai politik terbagi menjadi dua poros ideologi, yakni Islam dan sekuler. Isu-isu kedaerahan dan persaingan antar kelas tidak mendapatkan pengaruh yang signifikan bagi konstelasi politik saat itu. Gagasan-gagasan yang menjadi visi-misi partai politik seakan membaur serupa dengan konsepsi ekonomi kerakyatan. Namun hal itu menggambarkan bahwa Perpol tidak seutuhnya membangun konsep perekonomian yang khas, sehingga dapat menjadi platform yang memiliki daya tarik tersendiri. Begitu pun dengan persaingan tentang konsep otonomi daerah dan federalisme, seiring dengan waktu partai-partai yang bersinggungan kian menyesuaikan dengan situasi yang ada.

Paragraf di atas menggambarkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia menjadi bukti bahwa sistem kepartaian mulai terkartelisasi. Ambardi (2009: 235) menguatkan bahwa pada masa periode 1999-2004, terjadinya pembentukan kabinet selama dua kali, hal ini menggambarkan bahwa persaingan ideologi antar partai tidak lagi signifikan sebagaimana mestinya. PDIP sebagai pemenang Pemilu saat itu tidak menggunakan konsep koalisi kemenangan minimal, melainkan partai tersebut menyertakan partai-partai lainnya untuk bergabung dalam kabinet, sehingga menyebabkan tidak munculnya poros oposisi. Selain itu, partai-partai saat itu cenderung sepakat dengan Undang-Undang Sisdiknas, Undang-Undang BUMN, Undang-Undang Perburuhan, serta memproduksi Undang-Undang mengenai pembentukan pemerintahan regional baru. Berdasarkan fenomena tersebut Ambardi menyatakan bahwa pola itu merupakan pola sistem kepartaian yang terkartelisasi.

Sisi ideologis yang semestinya menjadi landasan perjuangan partai politik kian memudar. Partai politik bertindak sebagai suatu kelompok yang memiliki kepentingan kolektif, begitu pun dengannya mereka menanggalkan ideologinya untuk mendapatkan kepentingan kolektif tersebut. Sebagaimana lazimnya kita temukan bahwa umumnya partai memiliki platform program-program yang populis, namun praktiknya terjadi pergeseran sehingga kebijakan yang dibuat cenderung pro terhadap pasar. Dengan demikian, sebagaimana yang dikatakan Klingeman (dalam Ambardi, 2009: 236) bahwa partai politik harus memiliki sisi ideologi yang berbeda dengan para pesaingnya, sehingga ia harus mewakili sesuatu. Maka dari itu, fenomena ini menggambarkan bahwa ada sisi yang belum bisa dijelaskan dari pola interaksi antar partai di Indonesia dalam konsepsi sistem kepartaian yang demokratis.

Sebagaimana yang terjadi pasca Pemilu 1999, setelah berlangsungnya Pemilu 2004 pembahasan yang dituliskan oleh Ambardi (2009: 281) hampir tidak memiliki perbedaan yang signifikan dari pembahasan sebelumnya. Bahwa, pada Pemilu 2004 kartelisasi politik masih terjadi, pertama isu keagamaan tetap menjadi domain utama dalam membedakan poros pergerakan partai politik. Kedua, pola yang sama tetap terjadi, yakni partai politik umumnya meninggalkan ideologi mereka ketika kontestasi Pemilu telah usai. Komitmen yang dibuat oleh Koalisi Kebangsaan yang terdiri dari PDIP, Golkar, PPP, dan PBR mereka sepakat bahwa akan mempertahankan koalisi meskipun kalah dalam Pilpres 2004. Akan tetapi, koalisi tersebut terpecah, dan mereka pun bergabung dengan kabinet Indonesia Bersatu (Kecuali PDIP). Meskipun memutuskan menjadi oposisi, namun PDIP dianggap gagal menempati posisi tersebut dikarenakan kembali bergabung dengan partai-partai lainnya agar dapat mendapatkan kursi pimpinan di tingkat komisi DPR (Ambardi, 2009: 282).

Kecenderungan terbentuknya koalisi atau kerjasama partai politik dalam pemilihan umum merupakan agenda rutin yang lazim dilakukan oleh partai politik (Khoirudin, 2004: 219). Sebagaimana pendapat Efriza (2012: 315) yang menjelaskan bahwa koalisi merupakan penggabungan dari beberapa partai politik yang berkompetisi, akan tetapi memiliki kesamaan persepsi terkait dengan kepentingan, serta siap sedia dalam penggalangan kekuatan kolektif. Begitupun dengan pendapat Margono (2015) yang menyatakan bahwa koalisi merupakan penggabungan dari beberapa partai politik, yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Proses penggabungan kekuatan politik dari dua partai atau lebih bertujuan meningkatkan perolehan suara melalui proses suksesi kandidat yang efektif.

Koalisi partai politik di Indonesia umumnya bersifat tidak tetap dan tidak memiliki pola yang sama. Dampaknya, setiap kali berganti momentum pemilihan umum, peta koalisi pun turut mengalami perubahan. Dengan demikian, koalisi yang terjadi cenderung bersifat dinamis dan pragmatis. Sebagaimana pendapat Ambardi (2009: 253) bahwa partai politik memiliki kepentingan memelihara kepentingan kolektif, sehingga koalisi dapat dibentuk dengan mengabaikan persoalan ideologis. Kemudian, Makhasin (2016: 235) memperkuat asumsi bahwa perbedaan ideologi maupun platform tidak menghalangi partai untuk saling bekerja sama atau membangun koalisi, karena semua partai memiliki orientasi pragmatis yang kuat yaitu mendapatkan kekuasaan.

Katz dan Mair (1995: 6) menyatakan perkembangan mutakhir bentuk partai politik semakin menyampingkan aspek ideologis dan mengutamakan akses terhadap sumber daya negara. Selaras dengan pendapat Redjo (2010) bahwa hal tersebut berimplikasi pada pembentukan koalisi yang bersifat momentum atau insidental dan dinamis. Kondisi tersebut mendorong partai politik untuk bersikap proporsional dalam menyikapi berbagai konstelasi politik. Idealnya, faktor ideologi atau plaform partai menjadi prioritas dalam pembentukan koalisi Parpol. Hal ini dapat direalisasikan apabila partai senantiasa berorientasi pada kepentingan ideologi yang dimilikinya. Sebagaimana yang diutarakan oleh De Swaan (dalam Strom, 1990)  ideologi partai masih berperan dalam proses pembentukan koalisi partai apabila koalisi para anggotanya lebih berorientasi pada ranah kebijakan atau upaya merealisasikan program-program yang bersifat ideologis.

Pembahasan Ambardi mengenai kartelisasi politik di Indonesia  pasca pemilu 1999 dipengaruhi secara kuat oleh perilaku transaksional dan pragmatisme partai politik. Cairnya sekat-sekat ideologi antarparpol sebenarnya dapat berkonotasi positif apabila partai-partai berorientasi pada kepentingan publik. Tetapi, yang terjadi saat ini di Indonesia, cairnya sekat-sekat ideologis tersebut lebih didorong oleh pragmatisme dalam mendapatkan kekuasaan dan segala akses yang menyertainya.

Sebelumnya kita banyak mendiskusikan tentang kepentingan kolektif dan kartelisasi sistem kepartaian di Indonesia. Ambardi  (2009: 344) secara lugas menyatakan bahwa kebutuhan finansial yang menjadi kepentingan kelompok partai politik. Kepentingan kolektif tersebut menjadikan partai politik harus mengabdikan diri pada kelompoknya, akan tetapi partai politik tidak memiliki sumber dana yang memadai untuk memenuhi kepentingan kolektifnya. Dengan demikian, melalui kekuasaan di eksekutif atau legislatif ia dapat menemukan tempat perburuan rente yang dapat dijadikan sumber finansial bagi kepentingan kolektifnya. Akses yang dimilikinya ketika bergabung di kabinet dan mendapatkan posisi menteri sangat mempermudah akses bagi partai pemburu rente, begitu pun dengan posisi pimpinan komisi-komisi di legislatif yang memiliki peluang yang sama untuk melakukan praktik tersebut, meskipun tidak secara langsung. Maka dari itu, konsepsi Katz dan Mair (dalam Ambardi, 2009: 245) mengenai state subvention atau bantuan keuangan negara menjadi salah satu alternatif solusi, namun Ambardi menekankan bahwa dalam konteks Indonesia kartelisasi politik harus dilihat dari bagaimana sistem dapat membentuk pola tersebut.

Apabila kita coba untuk membahas lebih dalam terkait dengan praktik pembutuan rente tersebut, maka perlu kita pahami lebih dulu bahwa pengertian rente merupakan cara memperoleh keuntungan dengan menggunakan modal milik orang lain atau publik untuk kepentingannya sendiri (Rachbini, 2006). Dengan demikian, hal ini cenderung memiliki konotasi negatif dikarenakan terdapat kolusi dalam mensiasati persaingan bisnis. Mengapa demikian? Seperti halnya aktor yang berkepentingan memanfaatkan kedekatannya dengan pemangku kebijakan, mempengaruhi penguasa agar dapat membuat regulasi ‘kebijakan pesanan’ yang berpihak pada kepentingan bisnisnya. Selain itu, contoh kasus lainnya, apabila terdapat tender proyek pembangunan atau pengadaan barang, maka yang memiliki wewenang akan hal itu menjual akses yang lebih mudah kepada yang berkepentingan agar terjadi kesepakatan yang saling menguntungkan antara pemangku kebijakan dan pelaku usaha. Adanya open tender, hanya menjadi formalitas saja, padahal kesepakatan sebelumnya telah dilakukan di ‘bawah meja’. Begitu pun dengan pelaksanaan otonomi daerah tentunya akan sangat rentan dengan praktik perburuan rente. Pada situasi dan kondisi seperti ini, pengawasan terhadap hal-hal yang rentan akan praktik rent seeking akan lebih sulit dan kompleks tentunya. Hal ini dikarenakan munculnya otoritas daerah dan aktor-aktor lokal yang bermain dalam tatanan perburuan rente.

Langkah meminimalisir praktik perburuan rente

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam meminimalisir praktik perburuan rente di Indonesia haruslah terukur, sehingga upaya pencegahan ini dapat diaktualisasikan secara efektif. Berikut adalah beberapa langkah pencegahan praktik perburuan rente:

  1. Memperkuat transparansi dan demokrasi, terutama dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan publik. Sebisa mungkin, hal-hal yang terkait dengan kebijakan publik, khususnya sumber daya yang memiliki pengaruh besar pada kehidupan masyarakat tidak dilakukan melalui pola-pola kesepakatan ‘dibawah meja’. Setiap keputusan-keputusan publik hendaknya dapat dijelaskan cost  dan benefit nya, sehingga transparansi menjadi konsep utama. Pers dapat menjadi salah satu faktor pendorong keterbukaan dan demokrasi.  dengan demikian, kebebasan pers hendaknya didorong untuk memicu peningkatan kualitas lembaga-lembaga pemerintahan, parlemen, partai politik serta lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti LSM dan organisasi-organisasi sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan public accountability terhadap lembaga-lembaga tersebut.  Selain itu, public transparency dan public accountability untuk semua kebijakan publik seharusnya diatur dalam aturan perundang-undangan yang jelas;
  2. Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan para penyelenggara negara melalui reformasi birokrasi dan perbaikan sistem renumerasinya. Melalui tingkat kesejahteraan yang lebih baik diharapkan para penyelenggara negara dapat menjalankan perannya sesuai dengan tujuan-tujuan pelayanan publik yang menjadi wilayah kewenangannya. Pelayanan publik akan semakin berkualitas dan efektif bila dikelola oleh para penyelenggara yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. Selain itu, hendaknya diperhatikan posisi-posisi pemerintahan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan, khususnya dalam soal kegiatan belanja barang pemerintahan maupun dalam soal promosi kepegawaian yang berdasarkan merit system, bukan berdasarkan kolusi atau nepotisme. Bahkan untuk jabatan-jabatan tertentu melalui mekanisme fit and proper test dan atau track record diperlukan untuk seseorang sebelum mengemban jabatan itu;
  3. Mempertegas law enforcement . Penegakan hukum yang tegas, pasti dan tidak diskriminasi akan menjadi alat yang efektif dalam memberantas korupsi di Indonesia. Seperti halnya, dalam beberapa survey menunjukkan para penegak hukum merupakan wilayah yang rentan atas kegiatan korupsi. Dengan demikian, pemerintah haruslah memberikan perhatian khusus terhadap peningkatan kualitas dan kesejahteraan para penegak hukum;
  4. Memperkuat ajaran agama khususnya budaya kejujuran dan kedisiplinan, sehingga menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Perilaku-perilaku yang tidak baik tentunya harus diminimalkan. Keteladanan, khususnya bagi pemimpin dapat menjadi faktor  penentu dalam memperkuat budaya ini. Secara substantif, tentunya budaya beragama mengajarkan hal-hal terkait kejujuran, tolaransi, dalam mencapai kehidupan yang damai dan sentosa;
  5. Konsistensi dan kejelasan peraturan-peraturan hendaknya menjadi komitmen dan pedoman penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan-peraturan yang jelas dan konsisten akan mengurangi kemungkinan siapapun mencari keuntungan dari kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi.  (Arifin & Rachbini, 2001)

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, Ambardi dalam bukunya menelisik fenomena kepartaian yang terjadi dalam dua periode Pemilu, yakni Pemilu tahun 1999 dan 2004. Penjelasannya tersebut terkonsentrasi pada pola interaksi partai politik yang bekerjasama dalam sistem kepartaian yang terkatelisasi. Hal ini dikarenakan partai politik memiliki kepentingan kolektif, serta berkepentingan untuk menjaga sumber-sumber rente di lembaga eksekutif maupun legislatif. Kepentingan tersebut dilakukan untuk menjaga keberlanjutan atau keberlangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok.

Berdasarkan perspektif strukturalis apa yang ditulis oleh Ambardi dapat kita lihat lebih luas dari aspek ini. Sistem kepartaian di Indonesia, menyebabkan adanya kartelisasi politik dalam proses interaksi antar partai ketika dilakukan distribusi kekuasaan dari partai pemenang pada partai-partai lainnya yang tergabung dalam barisan pemerintahan. Interaksi tersebut membuat adanya perburuan rente yang menjadi bahasan dalam konteks ekonomi politik. sehingga berdasarkan analisis terhadap dua periode Pemilu, dapat disimpulkan bahwa terdapat pola yang sama, yakni adanya politik kartel di Indonesia. Hal ini dikarenakan, partai politik sebagai suatu kelompok, tidak dapat konsisten dalam memperjuangkan iklim kontestasi setelah pemilihan umum. Mereka perlu mempertimbangkan keberlangsungan kelompoknya, sehingga menjadi kepentingan kolektif yang tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian, terdapat kartelisasi politik, sehingga partai cenderung membaur dengan penguasa, agar lebih mudah mendapatkan akses terhadap rente di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa pemenang Pemilu tidak ingin mengambil resiko adanya oposisi pemerintahan yang kuat, sehingga dapat menghambat hal-hal yang akan dicanangkannya sebagai pemerintah. Kemudian, partai-partai yang kalah dalam Pemilu, membutuhkan logistik yang cukup agar kelompok mereka dapat terus hidup atau kegiatan mereka sebagai suatu kelompok dapat terus berlangsung. Apabila mereka diposisikan sebagai oposisi, maka tentu akses yang akan mereka dapatkan untuk mencari rente sangatlah kecil, dibandingkan dengan partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan. Dengan demikian, partai politik cenderung menyampingkan aspek ideologis, karena kebutuhan finansialnya untuk membiayai partai.

Sejatinya partai politik memiliki peran besar dalam pembangunan politik. Hal ini dikarenakan aktor-aktor partai politik yang mengisi jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Sehingga keputusan-keputusan strategis dapat diambil oleh para aktor tersebut, termasuk perihal kemajuan dan pembaharuan sistem politik di suatu negara. Maka dari itu, pendapat Ambardi mengenai kartelisasi politik di Indonesia, menjadi bahan refleksi bagi para pemangku kebijakan, agar dapat merumuskan sistem kepartaian yang lebih baik sehingga dapat terwujud demokrasi yang sehat. Hal-hal negatif yang merupakan implikasi dari penyalahgunaan kekuasaan, dapat menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik terus memburuk. Padahal sejatinya ada partai politik dan pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan demokrasi yang berasaskan pada kehendak masyarakat. Tentu menjadi dilema bila konstituen para pencari kekuasaan itu adalah rakyat, namun rakyatlah yang mereka tindas, dengan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dan tindakan korupsi yang merugikan banyak pihak.

Sebagai institusi politik yang berkontestasi dalam pemilihan umum, partai politik memiliki andil besar dalam menjaga stabilitas negara. Di satu sisi sistem kepartaian yang demokratis menghendaki adanya kontestasi idologis baik itu ketika pemilihan umum maupun setelahnya, hal ini tentu menjadikan iklim kontestasi politik yang lebih sengit, sehingga kemungkinan terjadinya konflik kepentingan karena perbedaan pendapat sangatlah besar. Namun disisi lain kartelisasi politik yang memudarkan persaingan ideologis pasca pemilihan umum, menjadikan dinamika pemerintahan cenderung stagnan, konstelasi politik dapat dengan mudah dikendalikan oleh pemenang Pemilu. Asumsi penulis mengenai hal itu tentu membutuhkan kajian tambahan yang lebih mendalam. Akan tetapi, pada dasarnya partai politik selaiknya menjadi pilar bagi stabilitas negara, meski terdapat berbagai perbedaan kepentingan di dalamnya. Selain itu, dalam tatanan demokratis, civil society perlu memberikan kontrol terhadap kinerja pemerintah maupun partai politik. Dengan demikian, interaksi kelembagaan tersebut dapat mendorong adanya check and balances, serta persaingan yang sehat.

Meskipun demikian, sistem kepartaian di Indonesia, perlu menjadi concern bagi para pemerhati politik maupun pemangku kebijakannya. Jika politik kartel telah membudaya di tubuh partai politik, maka asumsi penulis kemungkinan terhadap penyalahgunaan kekuasaan akan semakin besar. Kader-kader partai yang hidup dalam sistem tersebut seakan terhegemoni sehingga hanya mengikuti alur dari budaya politik yang ada. Kebutuhan finansial kelompok lebih besar dari kepentingan ideologis yang diperjuangkan oleh partai politik. Dengan demikian, penulis sangat mendorong adanya pembahasan mendalam tentang sistem kepartaian di Indonesia, serta langkah-langkah kongkrit dengan kebijakan-kebijakan yang dapat membangun sistem kepartaian yang kompetitif namun tetap kondusif, demi pembangunan politik Indonesia yang lebih baik.

Teori Pilihan Nasional

Selanjutnya, apabila dipandang dari perspektif rationality atau menggunakan teori pilihan rasional, fenomena yang dikaji oleh Ambardi dapat menimbulkan banyak kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk perburuan rente. Berdasarkan aspek ini, aktor atau individu yang memiliki akses terhadap rente, besar kemungkinannya untuk memprioritaskan apa yang menjadi kepentingannya sendiri dibandingkan dengan kepentingan kelompok. Sehingga bila pendapat Ambardi menyatakan bahwa aktor partai politik bergerak sebagaimana identitasnya sebagai bagian dari kelompok partai. Maka penulis berasumsi bahwa aktor tersebut secara proporsional dapat menempatkan statusnya sebagai individu yang mimiliki kepentingan terhadap keberlangsungan partai, atau sebagai individu yang berkepentingan terhadap kepentingannya pribadi. Dengan demikian, maka dinamika politik di Indonesia, tak luput dari adanya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Munawar. (2007). Merunut Akar Pemikiran Politik Kritis di Indonesia dan Penerapan Critical Discourse Analysis sebagai Alternatif Metodologi. Yogyakarta: Gava Media.

Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Gramedia

Arifin, B., dan Rachbini, D. J. (2001). Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: Grasindo.

Efriza. (2012). Political Explorer: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Jakarta: Alfabeta.

Katz, R. S., & Mair, P. (1995). Changing Models of Party Organization and Party Democracy. Party Politics, 1(1), 5–28. Diakses melalui  <https://doi.org/10.1177/1354068895001001001>

Khoirudin. (2004). Partai politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Makhasin, L. (2016). Orientasi Ideologi dan Pragmatisme Politik Model Pembentukan Koalisi dalam Pilkada Serentak di Jawa Tengah 2015. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 19(3), 234–250.

Margono, G. T. (2015). Soliditas Koalisi Partai Politik dalam Pencalonan Walikota dan Wakil Walikota pada Pemilukada Kota Balikpapan Tahun 2011. eJournal Ilmu Pemerintahan, 303-317.

Pratikno. (2007). Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 10(3), 415–438.

Rachbini, Didik J.  (2006).  Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik. Bogor: Ghalia Indonesia.

Redjo, S. I. (2010). Koalisi dalam Sistem Pemerintahan. Governance, 32-39.

Strom, K. (1990). A Behavioral Theory of Competitive Political Parties. American Journal of Political Science, 567.

Tutik, T. T. (2006). Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu Menurut UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Punya Pertanyaan atau Komentar untuk Kontributor?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.